Anak Kapolri Disebut dalam Aksi Protes Penahanan 11 Warga Maba Sangaji
- account_circle Al Muhammad
- calendar_month Rab, 6 Agu 2025

Aliansi pembebasan 11 warga maba sangaji menggelar Aksi di depan Kantor Kejaksaan Tinggi Maluku Utara. (Foto:kokehe).
Ternate, Kokehe – Nama anak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ikut disebut dalam aksi unjuk rasa yang digelar Aliansi Pembebasan 11 Warga Sangaji, Rabu (6/8/2025).
Dalam aksi tersebut, massa membentangkan poster bertuliskan “Bebaskan Masyarakat Adat Maba Sangaji Tanpa Syarat” serta “Jika Tidak, Maluku Referendum 100 Persen”.
Selain berorasi di depan Polda Maluku Utara, massa juga menggelar aksi lanjutan di depan Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dan membakar ban bekas sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan.
Masa aksi menuntut pembebasan warga adat Desa Maba Sangaji yang ditangkap usai memprotes aktivitas pertambangan PT. Position di wilayah adat mereka.
Sebagaimana diketahui, Penangkapan 11 warga adat maba Sangaji terjadi pada Minggu, 18 Mei 2025, ketika sebanyak 27 warga sedang melakukan prosesi adat berupa penancapan tiang bendera sebagai simbol protes atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan.
Koordinator aksi, Mujahir Sabihi, menyebut penangkapan itu sebagai bentuk kriminalisasi terhadap perjuangan masyarakat adat. Ia menduga ada skenario yang sengaja dirancang untuk membungkam perlawanan.
“Ini by design, masyarakat dijadikan korban dari kekuasaan yang tak jelas arahnya,” ujar Mujahir dalam orasinya.
Dalam pernyataan lebih lanjut,Mujahir menuding PT. Position diduga memiliki keterkaitan langsung dengan anak Kapolri, Listyo Sigit Prabowo diduga memiliki jabatan strategis di perusahaan tambang tersebut, yang menurutnya menjadi penyebab sikap represif aparat.
“Dalam Kajian data yang kami kantongi, Kami menduga, Anak Kapolri Listyo Sigit memiliki jabatan strategis di PT Position. sehingga, Aparat seperti hanya patuh pada elite, bukan pada hukum dan keadilan,” katanya kepada wartawan.
Mujahir juga mengkritik penerapan Pasal 162 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, yang dijadikan dasar penahanan. Menurutnya, aksi warga bukan bentuk penghalangan, melainkan ekspresi budaya yang sah secara konstitusional. “Kami tidak menghalangi, kami menyatakan penolakan dan melindungi hutan adat kami,” tegasnya.
Selain itu, ia menolak penggunaan Undang-Undang Darurat untuk menjerat warga. Mujahid menegaskan senjata tajam yang dibawa warga hanyalah alat pelindung diri dalam adat, dan tidak ada korban jiwa dalam aksi tersebut. Oleh karena itu, penggunaan UU Darurat dianggap tidak relevan dan berlebihan.
Dari 27 warga yang ditangkap, hanya 11 orang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka kini ditahan di Rutan Soasio, Tidore, tanpa pendampingan hukum yang layak.
Selain itu, proses penangkapan hingga penahanan menurutnya sarat pelanggaran hak asasi manusia. Mereka menuntut pembebasan tanpa syarat bagi 11 warga, serta mendesak pembentukan tim independen untuk mengusut dugaan pelanggaran hukum oleh aparat kepolisian.
- Penulis: Al Muhammad
