Yayasan LBH Indonesia Sebut Ada Motif Politik Tambang di Balik Putusan 11 Warga Adat Maba
- account_circle Al Muhammad
- calendar_month Sab, 18 Okt 2025

Tidore, Kokehe – Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Edi Kurniawan, menilai putusan majelis hakim terhadap 11 warga adat Maba, Halmahera Timur, yang dinyatakan bersalah atas gugatan PT Position, mencerminkan kemunduran dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia.
“Kami prihatin dan kecewa atas isi pertimbangan hakim. Wawasan majelis hakim dalam perkara ini sangat sempit dan gagal melihat konteks semangat perlindungan hukum lingkungan,” ujar Edi saat memberikan keterangan di halaman kantor Pengadilan Sosio Tidore. Kamis, (16/10/2025).
Menurut Edi, isi pertimbangan putusan justru menunjukkan hakim tidak memahami perkembangan hukum lingkungan yang telah mengalami banyak kemajuan. Ia menilai, hakim mengabaikan prinsip antisipasi, partisipasi publik, dan keadilan ekologis yang semestinya menjadi dasar dalam memutus perkara terkait konflik sumber daya alam.
“Hari ini kita melihat putusan hakim justru mendorong langkah kemunduran penegakan hukum lingkungan,” kata Edi.
Edi menyoroti pertimbangan hakim yang menyebut para terdakwa tidak memiliki kepentingan langsung terhadap perkara tersebut. Menurutnya, pandangan itu keliru karena bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 119/PUU-VII/2005, yang telah memperluas subjek hukum lingkungan.
“Putusan MK sudah jelas, siapa pun warga negara baik mahasiswa, aktivis, akademisi, atau praktisi berhak memperjuangkan kelestarian lingkungan, meskipun tidak memiliki hak atas tanah. Pejuang lingkungan tidak bisa dilihat secara sempit hanya dari hubungan kepemilikan,” tegasnya.
Ia menambahkan, semangat dari putusan MK tersebut adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga yang membela lingkungan hidup dari kerusakan akibat aktivitas industri atau pertambangan.
Dalam perkara ini, hakim mengaitkan pembelaan warga adat dengan izin usaha pertambangan (IUP) yang disebut “bersyarat”. Edi menilai, fokus majelis hakim terhadap aspek IUP justru menimbulkan pertanyaan.
“Ada tiga dakwaan, yaitu kepemilikan senjata tajam, dugaan pemerasan, dan pelanggaran Undang-Undang Minerba. Tapi mengapa hakim justru berkali-kali menyinggung soal IUP Saya curiga ada motif politik pertambangan di balik putusan ini,” ujarnya.
Edi menduga, hakim berupaya melegitimasi praktik pertambangan yang tidak sesuai dengan prinsip partisipasi publik dan perlindungan lingkungan. Ia menilai, melalui putusan ini, hakim seolah menegaskan bahwa standar perizinan seperti yang dilakukan oleh PT Position adalah bentuk yang harus dilindungi oleh hukum.
“Cara-cara seperti ini berbahaya bagi masa depan perjuangan lingkungan. Hukum tidak boleh digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kerusakan,” kata Edi.
Lebih lanjut, Edi menegaskan bahwa menurut Undang-Undang Minerba, IUP bersyarat harus memenuhi ketentuan, termasuk penyelesaian hak-hak pihak ketiga. Selama syarat itu belum terpenuhi, katanya, IUP tidak bisa dianggap sah.
“Mahkamah Konstitusi juga sudah menegaskan pentingnya penyelesaian hak pihak ketiga sebagai prasyarat. Jadi kalau itu belum dipenuhi, bagaimana bisa disebut IUP bersyarat” katanya.
Di akhir pernyataannya, Edi menegaskan bahwa 11 warga adat Maba yang dipidana seharusnya dipandang sebagai pejuang lingkungan yang mewakili kepentingan publik, bukan pelaku pelanggaran hukum.
“Hakim gagal memahami esensi pejuang lingkungan. Bahkan satu orang saja yang membela wilayahnya dari kerusakan sudah termasuk bagian dari perjuangan lingkungan. Tidak mesti terstruktur atau di bawah lembaga adat resmi,” kata Edi.
Ia menilai, cara pandang hakim yang mensyaratkan kepemilikan lahan atau struktur adat formal sebagai dasar pembelaan lingkungan menunjukkan ketertinggalan dalam memahami dinamika hukum lingkungan modern.
“Pejuang lingkungan tidak perlu berkelompok, satu orang pun diakui secara hukum. Hakim harus memperbarui wawasannya agar penegakan hukum lingkungan di Indonesia tidak terus berjalan mundur,” tutup Edi.
- Penulis: Al Muhammad
