Matinya Perempuan Kampus
- account_circle Ufiynti Umagap
- calendar_month Jum, 24 Okt 2025

Di era digital yang serba cepat, kampus tidak lagi sekadar ruang akademik yang dipenuhi tumpukan buku dan diskusi ilmiah. Kini, wajah kampus berubah: cahaya layar ponsel menggantikan cahaya semangat intelektual. Di mana dulu mahasiswa berburu referensi di perpustakaan, kini sebagian besar waktu habis untuk scrolling media sosial. Fenomena ini saya sebut sebagai “matinya perempuan kampus”.
Perempuan kampus hari ini sering hadir secara fisik di ruang kuliah, tetapi pikirannya berkelana di dunia maya TikTok, Instagram, dan platform hiburan lainnya. Mereka mencari inspirasi untuk konten, menghitung jumlah likes dan views, atau sekadar mencari hiburan dari kebosanan kuliah daring maupun tatap muka.
Diskusi intelektual tergantikan oleh obrolan ringan seputar tren terbaru atau gosip selebriti. Buku-buku hanya menjadi pajangan di rak kamar, tugas kuliah dikerjakan secara instan dengan bantuan mesin pencari. Teknologi yang seharusnya membuka wawasan dan memperluas akses pengetahuan, justru menjelma candu yang menggerogoti semangat belajar.
Fenomena ini bukan berarti semua mahasiswi kehilangan arah. Namun, arus besar budaya digital yang konsumtif telah mengikis tradisi berpikir kritis dan rasa ingin tahu dua hal yang mestinya menjadi ruh kehidupan akademik.
Padahal, sejarah telah membuktikan betapa besar peran perempuan dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah Grace Hopper, ilmuwan komputer dan perwira Angkatan Laut Amerika Serikat, yang dikenal sebagai “Mother of COBOL”. Lahir pada 9 Desember 1906, Hopper meraih gelar Ph.D. dalam Matematika dari Universitas Yale dan berperan penting dalam pengembangan bahasa pemrograman modern.
Di tengah keterbatasan teknologi pada zamannya, Hopper tidak menyerah. Ia menjadikan teknologi sebagai alat pembebasan intelektual, bukan jebakan. Sikap itu berbanding terbalik dengan sebagian perempuan kampus masa kini, yang justru terperangkap oleh kenyamanan teknologi dan kehilangan semangat eksplorasi.
Fenomena “matinya perempuan kampus” tidak bisa disalahkan sepenuhnya pada individu. Sistem pendidikan tinggi kita masih terlalu berorientasi pada nilai dan gelar, bukan pada proses belajar dan rasa ingin tahu. Banyak kampus belum mampu menciptakan ruang yang benar-benar memantik imajinasi dan keberanian berpikir kritis mahasiswa.
Kita juga perlu meninjau budaya kampus yang sering kali menekan perempuan untuk tampil sempurna secara fisik, tetapi abai pada kualitas intelektualnya. Akibatnya, pencitraan digital menjadi lebih penting daripada karya dan kontribusi nyata.
“Matinya perempuan kampus” bukanlah kematian fisik, melainkan kematian intelektual. Tragedi ini harus segera diatasi. Kampus perlu menumbuhkan kembali atmosfer dialog, membaca, dan menulis sebagai bagian dari gaya hidup akademik.
Dosen dan institusi pendidikan bisa mulai dengan mendorong metode pembelajaran berbasis riset, proyek sosial, dan kreativitas digital yang produktif—bukan sekadar konsumtif. Perempuan kampus perlu disadarkan bahwa teknologi hanyalah alat; nilai mereka tetap ditentukan oleh gagasan, karya, dan keberanian berpikir.
Jika kita gagal menghidupkan kembali semangat intelektual ini, maka kampus hanya akan menjadi panggung virtual tanpa ruh. Tapi jika berhasil, perempuan kampus bisa kembali menjadi sumber inspirasi dan perubahan sosial seperti Grace Hopper di zamannya, yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai bentuk perlawanan dan pembebasan.
- Penulis: Ufiynti Umagap
