Ternate yang Hampir Lupakan keindahannya
- account_circle Sagita Fahri
- calendar_month Kam, 30 Okt 2025

Sagita Fahri(Mahasiswa Sosiologi, Pegiat Pilas).
Ternate bukan sekadar tempat tinggal, Tapi ia seperti rumah yang paling pandai bercerita. Dulu, ketika aku masih anak-anak, kota kecil ini terasa seperti taman, surga, yang jatuh di antara Gunung Gamalama; dan laut yang membentang luas. Air asin dari pesisir datang membawa dingin yang menenangkan. Sementara, langit birunya jernih tanpa goresan debu.
Setiap pagi, cahaya matahari memantul dari ombak yang pecah di pesisir Falajawa. Dan setiap sore, langit jingga merayap pelan, menutup hari dengan lembut. Ternate adalah lukisan hidup, pulau kecil, namun penuh pesona.
Dalam hal ini Ternate sebagai tempat yang bisa dikatakan tanpa kotoran. Disini masyarakat Ternate menjadikan Gamalama sebagai tempat strategis yang bagaimana indah alamnya.
Yang saya tahu; sekarang Ternate merupakan kota pariwisata; yang terkenal akan Pantai, Gunung dan tempat Wisata; yang indah sehingga banyak orang-orang yang dari luar mengunjungi kota ini; hanya ingin menikmati indahnya alam Ternate. akan tetapi, keindahan itu telah hilang.
Kolam yang berada tepat di depan tempat makan kenangan baru itu, dulu tidak se kotor sekarang; warna nya tidak berwarna hijau seperti sekarang yang sering di sebut kolam matcha. Tidak tau kenapa hingga warna nya seperti sekarang tempat yang sering dilewati Masyarakat untuk pergi kemana saja.
Kini sudah tercemar oleh sampah Masyarakat, yang di buang sembarangan.Yang terbentang di hadapanku adalah hamparan hijau pekat, seperti lumut busuk yang menelan warna aslinya. Bau anyir tercium meski kita berdiri cukup jauh.
Di beberapa sudut, gelombang kecil menggerakkan plastik, botol, sedotan, dan potongan sampah lain yang entah dibuang dari tangan siapa. Tidak ada lagi burung yang singgah, tidak ada lagi pantulan pepohonan. Danau itu kini seperti mata yang kehilangan cahaya.
Aku menatapnya cukup lama. Rasanya seperti melihat masa kecilku yang rusak. aku tahu bahwa masalah ini bukan salah satu pihak saja. Warga membuang sampah ke selokan, menutup mata terhadap lingkungan, dan merasa semuanya akan hilang begitu saja. Hal paling menyedihkan bukanlah warna hijau airnya, tetapi ketidakpedulian.
Disuatu hari saya berjalan di tepi danau dan melihat dua pemuda tertawa sambil melemparkan bungkus makanan mereka ke air. Ada pula, Ibu-ibu yang dengan santai menyapu halaman rumah lalu mendorong tumpukan sampah itu ke daun, dan plastik ke selokan yang bermuara ke kolam.
Dalam buku (Ternate Kotaku, Rumaku) menurut Herman Oesman dengan istilah lain, saya membaca menangkap “gerak tubuh kota” yang memproduksi ciri khas sebuah perkotaan melalui catatan sosiologis.
Ternate merupakan kota kecil, memang tidak dapat disepadankan dengan kota-kota menengah atau kota lain yang ada di Indonesia. Selain keterbatasan lahan, kota ini terbentuk dengan kondisi yang sudah terpola sejak lama, termasuk pengaturan tata ruang yang luasnya tidak lebih dari 43 Km.
Dengan kondisi yang demikian, kota ini tanpa disangka justru memiliki proses urbanisasi yang demikian rumit dan dinamis. Yang kemudian, menghasilkan warga masyarakat urban. Ungkapan Henri Lefebvre dalam bukunya:
The Urban Revolution (2003:1) memberikan penegasan tentang hal ini, bahwa masyarakat urban merupakan masyarakat yang dihasilkan dari proses urbanisasi yang lengkap.Sekalipun urbanisasi saat ini masih bersifat virtual (maya), namun akan menjadi suatu kenyataan di masa depan.
Memang, banyak hal yang mengiringi perjalanan kota dalam wujudnya yang ada saat ini. Di antaranya, soal identitas yang belum terlihat dengan tegas, walau telah mengambil tema Rempah. Namun, hal itu secara pejal, belum menggambarkan rempah menjadi kekuatan.
Sebaliknya, proses urbanisasi di kota Ternate berjalan begitu kontradiktif. Perhatikan bagaimana soal makanan, terjadi konstinten yang begitu kasat mata. Lalu, bangunan-bangunan (Rumah) yang mengisi ruang kota dengan tumpukan sampah.
Ternate masih indah. Laut, gunungnya, dan langitnya semua masih seperti buang yang barusan tumbuh mengeluarkan pucuknya. Dan aku percaya, jika kota ini dirawat bersama, maka danau yang pernah berkaca itu akan kembali bercermin suatu hari nanti.
Sebab keindahan Ternate bukan hanya milik masa lalu keindahannya adalah janji untuk masa depan. Dan kami, Masyarakat ternate yang tinggal di dalamnya, menginginkan keindahan itu ada pada kota kami sendiri.
- Penulis: Sagita Fahri
- Editor: Muhammad S. Haliun
