Cuaca Panas Ekstrem Dipicu Pergeseran Matahari ke Selatan
- account_circle Al Muhammad
- calendar_month Rab, 15 Okt 2025

Ilustrasi
Jakarta,-Kokehe – Cuaca panas ekstrem yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia dalam beberapa pekan terakhir membuat masyarakat merasa seolah “dipanggang”. Suhu tinggi ini dirasakan hampir di seluruh Pulau Jawa hingga Bali, bahkan mencapai lebih dari 35 derajat Celsius di sejumlah daerah.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan bahwa kondisi panas menyengat tersebut disebabkan oleh pergeseran posisi semu matahari ke arah selatan. Fenomena ini membuat wilayah selatan Indonesia mengalami penurunan pertumbuhan awan hujan.
“Saat ini kenapa terlihat sangat panas? Karena di sisi selatan, matahari sekarang itu sudah bergeser, di posisi di selatan wilayah Indonesia,” kata Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, kepada wartawan di Kantor Kementerian Kehutanan (Kemenhut) RI, Jakarta Pusat, Senin (13/10).
Menurut dia, pergeseran posisi matahari menyebabkan langit di wilayah selatan menjadi lebih cerah tanpa banyak tutupan awan. Kondisi tersebut membuat sinar matahari menembus langsung ke permukaan bumi.
“Dan ini juga menyebabkan pertumbuhan awan hujan itu jarang di wilayah selatan. Sehingga inilah yang terasa panas, tidak ada awan yang menutup sinar matahari langsung,” ujar Guswanto.
BMKG memperkirakan cuaca panas ekstrem ini akan mulai berkurang seiring masuknya musim hujan, sekitar akhir Oktober hingga awal November 2025. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengatakan bahwa saat hujan mulai turun, tutupan awan akan meningkat sehingga intensitas sinar matahari langsung ke permukaan bumi berkurang.
“Cuaca panas ekstrem kemungkinan akan mulai mereda akhir Oktober hingga awal November, seiring masuknya musim hujan dan peningkatan tutupan awan,” kata Dwikorita kepada wartawan, Selasa (14/10).
Dwikorita menambahkan, fenomena pergeseran semu matahari ke selatan inilah yang menjadi pemicu utama panas ekstrem.
“Kenapa terasa makin panas? Pertama, minim tutupan awan, sinar matahari langsung menembus tanpa hambatan,” ujarnya.
Menurutnya, peningkatan radiasi matahari juga berkontribusi terhadap suhu tinggi, terutama di wilayah daratan seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
“(Kedua), radiasi matahari meningkat, terutama di wilayah daratan seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara,” sambungnya.
BMKG menjelaskan bahwa Indonesia saat ini tengah berada dalam masa pancaroba atau peralihan dari musim kemarau menuju musim hujan. Periode ini umumnya ditandai dengan cuaca yang tidak menentu, seperti panas ekstrem di siang hari dan hujan lokal pada sore atau malam hari.
Selain itu, BMKG juga memprediksi akan terjadi fenomena La Nina lemah pada Oktober 2025 hingga Januari 2026. La Nina diperkirakan akan memicu peningkatan curah hujan secara bertahap.
“Prediksi hujan meningkat, mulai November hingga Januari, terutama di wilayah dengan suhu laut hangat yang bisa memicu peningkatan curah hujan,” tutur Dwikorita.
Guswanto menambahkan, beberapa wilayah mencatat suhu udara tertinggi dalam beberapa hari terakhir. Di DKI Jakarta, suhu tercatat mencapai 35°C, sedangkan di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, mencapai 36°C.
BMKG juga mencatat kota-kota seperti Semarang, Grobogan, dan Sragen di Jawa Tengah dengan suhu antara 34–35°C. Di wilayah Bali dan Nusa Tenggara, suhu tertinggi mencapai 35°C.
Menanggapi kondisi ini, BMKG mengimbau masyarakat untuk waspada terhadap paparan langsung sinar matahari, terutama pada jam-jam dengan intensitas panas tertinggi.
“BMKG mengimbau masyarakat agar menghindari paparan langsung sinar matahari antara pukul 10.00 hingga 16.00 WIB,” ujar Guswanto.
BMKG juga menyarankan penggunaan alat pelindung diri saat beraktivitas di luar ruangan, seperti topi, payung, dan tabir surya (sunscreen), guna menghindari dampak paparan sinar ultraviolet.
- Penulis: Al Muhammad
