Demo Perusahaan dan Penolakan DOB: Parang dan Fenomena Hukum Ganda
- account_circle Al Muhammad
- calendar_month Sab, 26 Jul 2025

Amin Yasim, Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Oleh : Amin Yasim
Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Warga yang menyampaikan aspirasi sering kali harus berhadapan dengan jerat hukum yang tidak proporsional. Penetapan 11 orang sebagai tersangka dalam aksi protes tambang di Maba menjadi bukti bahwa hukum masih bisa digunakan secara diskriminatif.
Penetapan 11 warga Maba sebagai tersangka dalam aksi protes tambang memunculkan pertanyaan besar mengenai arah dan integritas penegakan hukum di negeri ini. Mereka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 UU Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang senjata tajam, Pasal 162 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, serta Pasal 368 KUHP tentang pemerasan dan pengancaman.
Barang bukti yang disebutkan oleh kepolisian berupa 10 parang, 1 tombak, 5 ketapel, 1 pelontar panah, 19 anak panah, serta perlengkapan lain seperti terpal dan spanduk. Namun, persoalannya bukan semata ada atau tidaknya alat-alat itu, melainkan bagaimana konteks penggunaannya dipahami secara utuh.
Masyarakat di kawasan Maba harus menempuh hutan dan wilayah terpencil yang rawan gangguan pihak tak dikenal (OTK). Dalam kondisi geografis seperti itu, membawa parang bukan untuk menyerang, melainkan bagian dari kebutuhan dasar dan perlindungan diri.
Budaya lokal pun harus menjadi pertimbangan. Di banyak wilayah di Maluku Utara, parang dan senjata tradisional lain sering menjadi bagian dari simbol adat dan bukan bentuk kekerasan. Maka, pendekatan hukum tidak bisa semata formalistik tanpa mempertimbangkan realitas sosial.
Hal ini makin mengundang keprihatinan ketika publik membandingkan dengan demonstrasi penolakan DOB di Sofifi. Dalam aksi tersebut, warga Tidore juga membawa parang sebagai bagian dari atribut adat. Namun, tidak ada satu pun peserta yang dikenai UU Darurat atau pasal lainnya terkait senjata tajam.
Inilah yang menjadi persoalan: ketimpangan dalam penerapan hukum. Mengapa dalam satu kasus dikenai pasal berat, sementara dalam kasus lain tidak? Apakah hukum hanya berlaku keras terhadap mereka yang dianggap “mengganggu investasi”?
Prinsip keadilan menuntut perlakuan yang sama terhadap semua warga negara di hadapan hukum. Jika aparat menafsirkan hukum secara berbeda tergantung siapa pelakunya, maka hukum kehilangan wibawanya sebagai alat keadilan.
Pasal 162 UU Minerba juga patut dikritisi. Pasal ini sering dipakai untuk membungkam protes warga terhadap aktivitas pertambangan. Padahal, dalam banyak kasus, warga tidak menolak tambang secara mutlak, melainkan menuntut kejelasan, transparansi, dan keadilan lingkungan.
Warga yang protes umumnya menyuarakan hak atas ruang hidup, lingkungan, dan tanah leluhur. Sayangnya, alih-alih didengar, suara mereka justru dihadapkan pada ancaman pidana. Apakah negara hari ini lebih melindungi korporasi ketimbang rakyatnya?
Penggunaan pasal pemerasan dan pengancaman pun menjadi tanda tanya besar. Tidak ada laporan kerusakan, penyerangan fisik, atau aksi kekerasan langsung yang dilakukan warga. Lalu, di mana letak unsur pemerasan sebagaimana diatur dalam KUHP?
Jika aparat tidak bisa membuktikan bahwa warga memang bertindak mengancam atau memeras, maka jerat pasal tersebut tidak hanya berlebihan, tapi juga berpotensi menjadi alat kriminalisasi.
Kita semua ingin negara ini tegak dalam hukum. Namun hukum tidak boleh menjadi alat untuk menakut-nakuti warga yang memperjuangkan ruang hidupnya. Demokrasi memberi jaminan terhadap hak menyampaikan pendapat dan menuntut keadilan.
Warga yang berdiri di barisan paling depan mempertahankan tanah dan lingkungan bukanlah musuh negara. Mereka adalah pengingat bahwa pembangunan yang tidak adil akan terus melahirkan konflik sosial.
Aparat penegak hukum harus lebih peka dan adil. Hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas hanya akan menambah luka kepercayaan masyarakat terhadap negara. Jangan sampai hukum dipakai untuk melayani kepentingan ekonomi semata.
Jika warga Maba benar-benar bersalah, maka proses hukum harus berjalan sesuai prosedur dan bukti yang kuat. Namun jika mereka hanya menjadi korban ketimpangan hukum, maka keadilan menuntut mereka dibebaskan dari segala tuduhan.
Negara perlu mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Konflik antara warga dan perusahaan tambang tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan keamanan. Dialog, partisipasi, dan penghormatan terhadap hak masyarakat lokal adalah jalan satu-satunya.
- Penulis: Al Muhammad