Gurita Bisnis dan Politik Sherly di Puncak Dominasi
- account_circle Al Muhammad
- calendar_month Jum, 31 Okt 2025

Sherly Djuanda, Gubernur Maluku Utara(foto Ist).
Ternate, Kokehe – Gubernur Maluku Utara (Malut), Sherly Tjoanda Laos, tidak hanya dikenal karena paras cantik dan kepiawaiannya di panggung politik. Sejak berkuasa, bisnis tambang keluarga yang dekat dengan kerusakan lingkungan justru semakin menguat. Namun, langkahnya kini mulai dikaitkan dengan dugaan konflik kepentingan.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, menyebut, Sherly tampil bukan sekadar aktor politik, melainkan juga pebisnis tambang yang terafiliasi dengan jaringan perusahaan yang menguasai lahan dan sumber daya alam di provinsi maluku utara.
“Temuan kami menunjukkan pola dukungan pemerintahan Sherly terhadap korporasi tambang, meskipun warga harus menghadapi dengan kekerasan, kriminalisasi, intimidasi, serta kehilangan ruang hidup akibat serbuan industri ekstraktif, seperti di Maba Sangaji, Halmahera Timur. Atau Pulau Obi dan Halmahera,” papar Melky, Jakarta, Kamis (30/10/2025).
Catatan kritis JATAM bersama Simpul JATAM Maluku Utara, berjudul “Konflik Kepentingan di Balik Gurita Bisnis Gubernur Maluku Utara”, mengungkap tentakel bisnis keluarga Sherly yang cukup luas dan menguasai berbagai jenis tambang di provinsi tersebut.
Beberapa perusahaan utama yang dikuasai keluarga meliputi PT Karya Wijaya (tambang nikel di Gebe), PT Bela Sarana Permai (tambang pasir besi di Wooi Obi), PT Amazing Tabara (tambang emas), PT Indonesia Mas Mulia (tambang emas), PT Bela Kencana (tambang nikel), serta sejumlah entitas lain di bawah kelompok keluarga Laos-Tjoanda.

Menurut Melky, kepemilikan mayoritas, jabatan komisaris, dan kendali operasional yang erat dengan pejabat publik menimbulkan isu konflik kepentingan antara jabatan politik dan kepemilikan perusahaan tambang.
Contohnya, kepemilikan saham mayoritas di PT Karya Wijaya berubah signifikan pada akhir 2024. Sherly menjadi pemegang saham terbesar 71 persen, menggantikan suaminya, Benny Laos, yang meninggal akibat ledakan kapal pada 12 Oktober 2024. Sisa saham dibagikan kepada tiga anaknya, masing-masing 8 persen, menandai fase transisi kendali bisnis keluarga.
Selain memperkuat posisi di Karya Wijaya, Sherly tercatat sebagai direktur dan pemegang saham 25,5 persen di PT Bela Group, induk beragam lini bisnis keluarga Laos. Kepemilikan saham mendiang suami masih terlihat di entitas bawah grup ini, seperti PT Bela Kencana (40 persen), PT Bela Sarana Permai (98 persen), dan PT Amazing Tabara (90 persen).
Melky menambahkan, PT Bela Co menguasai 30 persen saham di PT Indonesia Mas Mulia, yang 85 persen dikuasai Bela Group, sementara anggota keluarga dekat, termasuk Robert Tjoanda, memiliki saham kecil 1 persen, menandakan jaringan perusahaan terintegrasi dalam lingkar keluarga.
Wilayah operasional perusahaan milik Gubernur Sherly cukup dominan di Maluku Utara. Sebagai contoh, PT Karya Wijaya mengelola dua konsesi nikel: Pulau Gebe (500 hektare, izin 2020) dan Halmahera (1.145 hektare, izin Januari 2025). Izin terakhir bertepatan dengan momentum Pilgub 2024, ketika Sherly mencalonkan diri sebagai calon gubernur menggantikan suaminya.
Selain nikel, keluarga Gubernur Sherly aktif di tambang emas dan tembaga melalui PT Indonesia Mas Mulia (4.800 hektare di Halmahera Selatan), serta tambang pasir besi lewat PT Bela Sarana Permai (4.290 hektare di Pulau Obi).
“Potensi pelanggaran kepentingan muncul dari tumpang tindih kewenangan eksekutif dan kepentingan ekonomi,” lanjut Melky.
Melky menjelaskan, pembaruan izin konsesi nikel PT Karya Wijaya kerap dilakukan saat masa transisi pilkada, dengan proses yang diduga tidak sesuai prosedur. Misalnya, masuk sistem MODI (Minerba One Data Indonesia) tanpa lelang, izin PPKH (Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan) belum lengkap, serta tidak ada jaminan reklamasi.
“Investigasi DPR dan dorongan masyarakat sipil, menunjukkan pengawasan terhadap operasi perusahaan milik keluarga kepala daerah sangat lemah. Potensi besar terjadi pelanggaran regulasi dan kehilangan penerimaan negara,” ungkapnya.
Dampak ekologis dan sosial dari operasional tambang yang dikuasai keluarga Gubernur Sherly cukup serius. Warga Pulau Obi dan Halmahera Selatan melaporkan deforestasi masif, pencemaran air sungai, krisis air bersih, dan konflik lahan akibat tumpang tindih konsesi.
“Telah terjadi deforestasi di Pulau Obi, pencemaran air di Halmahera Selatan, krisis air bersih, dan konflik di Pulau Gebe. Akibat tumpang tindih klaim konsesi,” kata Melky.
Indikasi yang ditemukan justru menunjukkan kepentingan ekonomi keluarga Gubernur Sherly memberi insentif terhadap pengelolaan sumber daya alam yang dikendalikan pejabat publik.
Dari perspektif hukum, diduga terjadi pelanggaran etika yang menyulut potensi konflik kepentingan karena rangkap jabatan kepala daerah sebagai pengurus atau pemegang saham perusahaan swasta.
Melky menekankan, praktik ini berisiko melanggar UU Administrasi Pemerintahan, UU Pemerintahan Daerah, dan Peraturan KPK yang menegaskan larangan konflik kepentingan dan rangkap jabatan bagi pejabat publik.
“Praktik semacam ini berisiko melanggar aturan formal dan merusak kepercayaan publik,” pungkasnya.
- Penulis: Al Muhammad
